Label Halal Pada Total Deterjen, Jawab Kebutuhan Muslim Dunia
NerSumbar.Com, Payakumbuh -- Kerinduan masyarakat muslim untuk aplikasi UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dijawab oleh PT. Total Chemindo Loka Indonesia, deterjen Total berlabel halal dan ini merupakan nilai plus bagi perusahaan, baik untuk negara mayoritas muslim maupun minoritas. Yang pasti, umat muslim tidak ragu lagi terhadap suatu produk.
Saat memandangi deterjen yang bagus untuk dipakai di RT, dengan merek yang variasi di sebuah warung (27/05), namun sempat membuat kita kaget, karena selama ini kita belum pernah jumpai adalah deterjen berlabel Halal , karena fungsinya sebagai alat cuci dan tidak untuk di konsumsi oleh masyarakat. Total deterjen menjawab kebutuhan masyarakat muslim dunia.
Deterjen TOTAL Almeera fashion care memperoleh Label Halal dari MUI Indonesia dengan Nomor : 00170072880615 dan dan izin dari Kemenkes RI Nomor : 20203010221. Total Deterjen menjawab kebutuhan masyarakat khususnya muslim.
Dan yang menjadi pertanyaan masyarakat Muslim saat ini, standar Halal terhadap makanan yang beredar di pasar dan counter culinary yang diminati khalayak ramai “Sudahkah ada standar Halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ?”, baik komoditi ekspor atau impor, termasuk kuliner yang didagangkan secara gerobak yang menjamur di pasar siang maupun pasar malam.
Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).
Menurut UU ini, dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, BPJPH berwenang antara lain: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. Menetakan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH; c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.
“Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI),: bunyi Pasal 7 UU ini.
Mekanisme
UU ini menegaskan, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalal Produk dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi.
“Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium,” bunyi Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Selanjutnya, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalal produk kepada BPJPH untuk disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk.
MUI akan menggelar Sidang Fatwa Halal untuk menetapkan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produkd ari BPJPH itu. Keputusan Penetapan Halal Produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
“Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan,” bunyi Pasal 34 Ayat (2) UU ini.
Sementara yang dinyatakan halal oleh Sidang Fatwa Halal MUI akan menjadi dasar BPJPH untuk menerbitkan Sertifikat Halal paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI.
Menurut UU ini, Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantukam Label Halal pada: a. Kemasan produk; b. Bagian tertentu dari Produk; dan/atau tempat tertentu pada Produk.
“Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak,” bunyi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 itu.
Sertifikat Halal berlaku selama 4 9empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, dan wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berlaku.
Transisi
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum UU ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersbut berlaku. Dan sebelum BPJPH dibentukm pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku sebelum UU ini diundangkan.
UU ini juga menegaskan, bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.
“BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan,” bunyi Pasal 64 UU No. 33/2014 itu.
Adapun peraturan pelaksanaan UU ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. “UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 68 UU yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin pada 17 Oktober 2014 itu.ul
Saat memandangi deterjen yang bagus untuk dipakai di RT, dengan merek yang variasi di sebuah warung (27/05), namun sempat membuat kita kaget, karena selama ini kita belum pernah jumpai adalah deterjen berlabel Halal , karena fungsinya sebagai alat cuci dan tidak untuk di konsumsi oleh masyarakat. Total deterjen menjawab kebutuhan masyarakat muslim dunia.
Deterjen TOTAL Almeera fashion care memperoleh Label Halal dari MUI Indonesia dengan Nomor : 00170072880615 dan dan izin dari Kemenkes RI Nomor : 20203010221. Total Deterjen menjawab kebutuhan masyarakat khususnya muslim.
Dan yang menjadi pertanyaan masyarakat Muslim saat ini, standar Halal terhadap makanan yang beredar di pasar dan counter culinary yang diminati khalayak ramai “Sudahkah ada standar Halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ?”, baik komoditi ekspor atau impor, termasuk kuliner yang didagangkan secara gerobak yang menjamur di pasar siang maupun pasar malam.
Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).
Menurut UU ini, dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, BPJPH berwenang antara lain: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. Menetakan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH; c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.
“Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI),: bunyi Pasal 7 UU ini.
Mekanisme
UU ini menegaskan, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalal Produk dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi.
“Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium,” bunyi Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Selanjutnya, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalal produk kepada BPJPH untuk disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk.
MUI akan menggelar Sidang Fatwa Halal untuk menetapkan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produkd ari BPJPH itu. Keputusan Penetapan Halal Produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
“Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan,” bunyi Pasal 34 Ayat (2) UU ini.
Sementara yang dinyatakan halal oleh Sidang Fatwa Halal MUI akan menjadi dasar BPJPH untuk menerbitkan Sertifikat Halal paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI.
Menurut UU ini, Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantukam Label Halal pada: a. Kemasan produk; b. Bagian tertentu dari Produk; dan/atau tempat tertentu pada Produk.
“Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak,” bunyi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 itu.
Sertifikat Halal berlaku selama 4 9empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, dan wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berlaku.
Transisi
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum UU ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersbut berlaku. Dan sebelum BPJPH dibentukm pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku sebelum UU ini diundangkan.
UU ini juga menegaskan, bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.
“BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan,” bunyi Pasal 64 UU No. 33/2014 itu.
Adapun peraturan pelaksanaan UU ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. “UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 68 UU yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin pada 17 Oktober 2014 itu.ul
Label Halal Pada Total Deterjen, Jawab Kebutuhan Muslim Dunia
Reviewed by Unknown
on
Mei 27, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: