Top Ad unit 728 × 90


Breaking News

random
[Payakumbuh][slide][FFFF00]

Hari Terakhir Syafruddin Prawiranegara Sebagai Ketua PDRI di Sumatera Barat


"Syafruddin Prawiranegara menganggap pihak Bangka dengan sengaja telah melecehkan PDRI, termasuk dirinya. Bukankah la telah diberi mandat untuk mendirikan pemerintahan darurat dan memimpin perjuangan? Bukankah mandat itu telah dilaksanakannya dengan segala kemampuan yang ada padanya bersama teman-temannya? Pada saat perjuangan itu memperlihatkan hasil yang positif, tiba-tiba pihak Bangka menghenti­kannya."



NerSumbar.Com--Perjalanan Pemerintahan Republik Indonesia setelah memperoleh kemerdekaan lantas tidak berjalan dengan mulus begitu saja. Setelah tiga tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada pada pukul 6.00 pagi pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan     agresi militer untuk kedua kalinya terhadap wilayah Republik Indonesia.

Agresi itu mereka namakan sebagai “Aksi Polisionil” ke Yogyakarta dan Bukittinggi. Serangan serentak di dua kota ini dimaksudkan oleh Belanda untuk menghapuskan peta ketatanegaraan Republik Indonesia karena dua kota itu lah benteng pertahanan keberadaan pemerintah Republik Indonesia. Dengan menguasai ibukota dan menangkap para pemimpinnya maka Republik Indonesia akan hilang selama-lamanya sehingga mereka meneruskan rencana mendirikan negara federasi.

Sasaran awal dalam rangka penyerangan ke Yogyakarta ialah dengan membombardir lapangan terbang Maguwo (Adi Sucipto sekarang) dari udara dengan menggunakan pesawat Mitchels. Pasukan TNI yang menjaga lapangan terbang tersebut tidak kuasa menahan gempuran yang bertubi-tubi sehingga mereka hanya berusaha menyelamatkan diri. Dalam waktu satu jam 900 tentara payung telah berhasil didaratkan.

Pasukan gerak cepat Belanda membuka jembatan udara dari Semarang untuk mendatangkan pasukan infanterinya. Batalyon infanteri mendarat tanpa kesukaran, menyusun kekuatan dan terus bergerak ke arah kota Yogyakarta dengan berjalan kaki tanpa mendapat perlawanan apa-apa. Operasi pendaratan pasukan dari udara berjalan mulus sesuai rencana, namun untuk mencapai istana pasukan gerak cepat Belanda memakan waktu cukup lama, pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Van Beek baru sampai di istana sekitar jam 2.00 siang.

Kedatangan pasukan Belanda yang lambat itu sehingga memungkinkan para petinggi RI untuk mengadakan sidang kabinet. Sidang kabinet tersebut diadakan secara tergesa-gesa dan berhasil mengambil keputusan penting, yang ternyata amat menentukan jalannya perjuangan kemerdekaan pada tahap berikutnya.

Keputusan tersebut ialah berbentuk dua buah telegram yang berisikan penyerahan mandat kepada pemimpin di luar Jawa. Telegram pertama ditujukan kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi dan yang ke dua kepada tiga tokoh Perwakilan Indonesia di India. Telegram yang kedua adalah alternatif apabila Syafruddin Prawiranegara gagal membentuk pemerintah darurat di Sumatera maka mereka diinstruksikan untuk membentuk Exile Government (pemerintahan pelarian) Republik Indonesia.

“Kami Presiden Republik Indonesia, memberitahukan bahwa, pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948, djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas ibukota Jogjakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr.Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera..” Jogjakarta, 19-12-1948

Dengan dikuasainya Yogyakarta maka Belanda berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa pejabat tinggi lainnya. Mereka kemudian diasingkan ke daerah yang berbeda dengan maksud dan tujuan tertentu. Hal inilah yang kemudian membuat para tentara Republik merasa bahwa mereka merupakan satu-satunya penyelamat bagi Republik Indonesia.

Walapun mandat tersebut tidak sampai ke Bukittinggi atau ketangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran Republik Indonesia ketika itu , secara naluri para pemimpin yang berada di Bukittinggi berhasil mendirikan atau membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang cikal bakalnya di Bukitinggi pada tanggal 19 Desember 1948 dan di deklarasikan pada tanggal 22 Desember 1948 di kebun teh Halaban Kabupaten Limapuluh Kota.
Pertemuan di Silantai

Dengan berjuang mempertahankan Republik Indonesia dengan pemerintahan yang bersifat mobile, di nodai dengan oleh kesedian kelompok Bangka untuk ambil bagian dalam perundingan dengan pihak Belanda, betul-betul telah menimbulkan rasa kecewa dikalangan pemimpin PDRI.

Tokoh-tokoh PDRI yang tersebar dibeberapa tempat di pedalaman  Sumatera Barat, dengan markas utamanya di dua tempat, yakni di Bidar Alam Solok dan di Koto Tinggi Gunuang Omeh Limapuluh Kota, cepat-cepat menyelengarakan musyawarah khusus  untuk membicarakan sikap politik mereka  atas prakarsa perundingan yang dilakukan  kelompok pemimpin di Bangka tersebut.

Jarak antara Bidar Alam, tempat dimana Syafruddin Prawiranegara Prawira Negara berkedudukan dengan Koto Tinggi, tempat Gubernur Militer Sumatera Barat berkedudukan, adalah sekitar 14 hari berjalan kaki. Untuk adilnya  Rasyid mengusulkan untuk , memilih tempat ditengah-tengah antara kedua tempat itu , dan jatuhlah  pada  Sumpur Kudus, sebuah negeri di Kabupaten Sijunjung, dan untuk mencapai titik tersebut para pemimpin PDRI harus berjalan kaki kurang lebih 100 km dari tempat mereka masing-masing.

Syafruddin Prawiranegara dan rombongan meninggalkan Bidar Alam pada tanggal 23 April 1949. Seperti ketika datang, pada waktu meninggalkan negeri ini pun perjalanan dilakukan melalui sungai menempuh Pulau Punjung, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui Kiliranjao menuju Sumpur Kudus .

Anggota PDRI di Bidar Alam itu tidak berangkat sekaligus , tetapi dipecah menjadi beberapa rombongan kecil yang berangkat pada waktu berbeda-beda. Namun pada tanggal 5 Mai 1949 semua rombongan telah berkumpul di Sumpur Kudus. Sementara itu, rombongan Rasyid dari Kototinggi Suliki bergerak pula menuju Sumpur Kudus  dan sampai pada tanggal 12 Mei 1949. Pada hari itu Koordinator Sumatera Tengah Mr. M.Nasrun yang bergerak dari daerah Lubuak Sikapiang sampai pula.

Pertemuan yang disebut Musyawarah Besar PDRI itu dilang­sungkan di Silantai, Sumpur Kudus. Pertemuan dimulai pada tanggal 14 Mei 1949, tujuh hari setelah Pernyataan Roem-Royen diumumkan. Selain dihadiri oleh segenap anggota Kabinet PDRI, musyawarah ini dihadiri pula oleh sejumlah tokoh lain, seperti Mr. Nasrun, beberapa kepala jawatan pemerintahan, dan pimpinan partai politik.

PTTS Kolonel Hidayat dan Gubernur Militer Sumatera Selatan dr.A.K.Gani mengirim telegram tidak dapat menghadiri pertemuan. Namun, mereka menyatakan akan mendukung sepenuhnya semua keputusan yang diambil dalam pertemuan tersebut. Untuk menjaga keamanan,di Sumpur Kudus ditempatkan 60 orang anggota Mobrig (sekarang Brimob) dan satu pletonTNI.

Dalam musyawarah itu, PDRI membicarakan sikap yang harus diambil sehubungan dengan prakarsa pihak Bangka mengadakan perundingan tanpa terlebih dulu membicarakannya dengan PDRI. Syafruddin Prawiranegara menyatakan kekecewaannya dan dengan tegas menolak  diadakan perundingan.

Penolakan itu didasarkan pada pengalaman sebelumnya. Ia mengatakan  bahwa sudah dua kali RI mengadakan perundingan dengan pihak Belanda yang menghasilkan Perjanjian Linggajati dan Persetujuan  Renville. Dalam kedua perjanjian itu RI selalu berada pada pihak yang dirugikan. Kedua perjanjian itu pun dilanggar oleh Belanda dengan cara melancar kan agresi militer.

Oleh karena itu, melalui perundingan yang diadakan oleh pihak Bangka, RI kembali akan dirugikan, lebih-lebih lagi, perundingan diadakan dengan pemimpin yang masih berada dalam status tawanan yang berarti berada dalam posisi yang lemah. Mereka tidak bebas bergerak.

Mereka pun tidak mengetahui, atau sengaja mengabaikan kuatnya posisi gerilya pada saat itu. Dalam keadaan seperti itu, delegasi RI tidak akan mampu mengadakan tekanan terha-dap Belanda untuk memperoleh kedudukan yang cukup menguntungkan. Sebaliknya, Belandalah yang akan menekan delegasi RI.

Syafruddin Prawiranegara menganggap pihak Bangka dengan sengaja telah melecehkan PDRI, termasuk dirinya. Bukankah la telah diberi mandat untuk mendirikan pemerintahan darurat dan memimpin perjuangan? Bukankah mandat itu telah dilaksanakannya dengan segala kemampuan yang ada padanya bersama teman-temannya? Pada saat perjuangan itu memperlihatkan hasil yang positif, tiba-tiba pihak Bangka menghenti­kannya.

Oleh karena itu, Syafruddin Prawiranegara bermaksud mengembalikan man­dat kepada Presiden Soekarno. Ia merasa tidak memiliki wewenang lagi, untuk memimpin Republik sesuai dengan mandat yang diberikan kepadanya. Syafruddin Prawiranegara menganggap lebih baik ia yang mengembalikan mandat daripada mandat itu dicabut oleh Soekarno dan Hatta.

Dalam musyawarah itu berbicara beberapa tokoh PDRI, antara; lain Moh. Rasyid, Indratjaja, dan Kolonel Nazir. Nada pembicaraan mereka pada umumnya sama: mengecam kebijaksanaan pihak Bangka. Dengan penuh emosi Kolonel Nazir mengatakan bahwa perundingan  antara Roem dan Royen tidak lain adalah pembicaraan antara seorang tawanan dan sipir alias juru kunci penjara.

Nazir juga mengajukan tiga pertanyaan. Salah satu di antaranya ialah apakah PDRI menerima penunjukan Roem oleh pihak Bangka untuk berunding dengan Belanda ? Jawaban terhadap pertanyaan itu tentu saja "tidak." Akan tetapi Syafruddin Prawiranegara menambahkan dunia luar mengakui Soekarno-Hatta, balans Republik lebih berat kepada kedua beliau itu.

Kalau kita hendak berpegang teguh kepada pendirian masing-masing, maka saya melihat akan terjadi dua golongan: golongan Soekarno – Hatta dan  golongan pendukung PDRI.

Syafruddin Prawiranegara memperingatkan adanya perbedaan paham akan sangat tidak menguntungkan perjuangan dan membahayakan keutuhan bangsa dan Negara. Untuk mencegah  menjaga persatuan, Syafruddin Prawiranegara mengatakan bersedia mundur dan menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno-Hatta.
Pertemuan di Padang Japang

Setelah selesai pertemuan di Silantai, semua rombongan sepakat untuk memusatkan Pemeintahan di Koto Tinggi Gunuang Omeh Limapuluh Kota. Rombongan berangkat dan Mr. Syafruddin Prawiranegara singgah beberapa hari di Nagari Ampalu- Lareh Sago Halaban untuk beristirahat beberapa hari.

Hatta membentuk tim yang akan ditugasi menemui PDRI. Tim ini diketuai oleh dr. Leimena dengan Natsir dan dr. A. Halim sebagai anggota, dan Agus Jamal sebagai sekretaris. Walau­pun Natsir menolak Pernyataan Roem-Royen,Hatta menganggapnya sebagai tokoh yang dekat dengan  Syafruddin Prawiranegara sebab ia adalah teman separtai Syafruddin Prawiranegara (Masyumi).

Oleh karena itu, Natsir diharapkan dapat melakukan pendekatan pribadi dengan Syafruddin Prawiranegara. Hakim adalah tokoh yang dikenal baik oleh beberapa tokoh PDRI, termasuk Syafruddin Prawiranegara sendiri. Leimena adalah tokoh yang banyak mengikuti pembicaraan dengan pihak Belanda, seorang nasionalis yang loyalitasnya kepada R I tidak pernah diragukan .

Tim ini berangkat dari Jakarta menuju Padang pada tanggal 2 Juli 1949. Esok harinya, mereka berangkat dengan konvoi pasukan Belanda menuju Bukittinggi. Di Bukittinggi diadakan hubungan radio dengan PDRI untuk memberitahukan kedatangan mereka dan menanyakan tempat yang harus mereka tuju.

Sesuai dengan informasi diperoleh melalui hubungan radio itu, mereka berangkat menuju Padang Japang. Sebelum tiba di Padang Japang, tim menginap satu malam di Payakumbuh. Dalam perjalanan antara Bukittinggi dan Payakumbuh, beberapa kali utusan Hatta dihadang oleh para gerilyawan. Kopiah yang dipakai Natsir menjadi penyelamat ketika mereka hampir saja ditembak oleh para gerilyawan.

Pada tanggal 5 Juli mereka telah sampai di Payakumbuh .Dibawah pengawalan dua buah mobil yang dipersenjatai rombongan utusan Hatta ini dicegat oleh pasukan gerilya di Kubang Tungkek- Guguak, ketegangan pun terjadi namun akhirnya dapat ditenangkan  lantaran  komandan pleton pasukan yang mencegat tersebut Azwar Tontong, mengenal Moh. Natsir yang akhirnya pasukan itulah yang ikut mengawal sampai ke Padang Japang.

Rombongan Laimena, dan Natsir tersebut dibawa memutar ke dalam kampung Kubang Tungkek, tidak melewati jalan raya karena di sepanjang jalan pohon-pohon termasuk batang kelapa sudah ditebangi rakyat untuk menghalangi kemajuan pasukan Belanda.

Syafruddin Prawiranegara yang saat itu telah berada di Koto Tinggi datang ke Padang Japang  bersama Muhommad Rasyid dengan naik kuda tunggangan memakai helem warna putih, berkacamata, bersyal handuk dan celana putih setengah di gulung .

Pada malam tanggal 6 Juli 1949  setelah syolat Isya bertempat di rumah Jawahir (istri Mahmud Yunus)  dilakukan pertemuan antara pemimpin PDRI dan utusan Hatta. Dari pihak PDRI hadir ketua PDRI sendiri beserta seluruh menteri-menterinya.

Disamping itu juga datang beberapa tokoh militer dan tokoh politik, seperti Kolonel Dahlan Ibrahim, Dt. Singo Mangkuto dan M.Hamdani. Dr.Leimena sebagai juru bicara utusan Hatta, berusaha melunakkan sikap tokoh-tokoh politik PDRI hingga larut malam. Namun pertemuan ini tidak mengubah pendirian  pemimpin PDRI.

Menjelang subuh , Dr.Laimena terpaksa menemui A. Halim yang tidak ikut dalam rapat, dan mengabarkan bahwa misi mereka menemui jalan buntu.

Dirumah yang sederhana itulah malam harinya perundingan marathon berjalan, setelah siang harinya kontak pertama sudah berlangsung. Perundingan hanya disela oleh sembahyang atau makan malam, berunding dibawah lampu strongkeng, duduk bersila diatas tikar dalam formasi meja bundar, berjalan sampai melebihi waktu tengah malam menjelang subuh,± 7 jam lamanya “.

Leimena memulai pembicaraan dengan memuji PDRI dan semangat juang segenap rakyat yang disaksikannya sepanjang jalan. Bahkan PDRI lebih sehat-sehat dari kami yang makan roti dan keju, kata Leimena.

Perundingan tengah malam itu belum mengambil suatu keputusan apapun, Natsir kemudian mengutip satu Syair klasik untuk melunakkan Syafruddin Prawiranegara : “ ma kullu ma yatamannal mar’u yudrikuhu, tajrirriahu bima la tasytahishshufun “ (tidaklah semua keinginan manusia dapat tercapai karena angin di lautan berhembus tidak selamanya mengikuti kehendak kapal yang sedang berlayar ). Inilah ucapan penyejuk dari Natsir, yang membawa perundingan yang tadinya seakan beku mulai mencair.

Namun, kemacetan ternyata bisa diselesaikan dipancuran mandi. Keesokan pagi, ketika A. Halim pergi ke pancuran untuk mandi, ia berpapasan langsung dengan tiga tokoh PDRI, masing-masingnya dengan Mr.M.Rasyid, Syafruddin Prawiranegara Prawiranegara dan Lukman Hakim. Suasana pembicaraan di pincuran tempat mandi dapat digambarkan :

“Setelah mandi,Rasyid bilang pada saya, “ Lim ini bagaimana, coba ceritakan yang benar”. Belum saya jawab, Syafruddin Prawiranegara sudah bilang, ‘’Eh Jij ini ngapain ke sini”. Syafruddin Prawiranegara bilang dalam bahasa Inggris. Saya berdiri antara dua blok deh. Yang mana gua masih ikut, gua tidak tahu, trace Bangka apa kalian, between the devil and the deep sea, mana yang harus dipilih. Kenapa gua bersedia untuk datang kesini, coba yoe just imagine. Saya datang untuk menjemput kalian. Jika saya tak ingin kalian kembali, tentu saya tidak akan datang kemari. Kemudian Lukman bilang, “Udah deh, jij sudah punya conviction kita kembalilah”. Baik juga kalau sudah mandi, otaknya terang dikit, kata saya. Wah ramai:” Gua kemplang lu nantik”, kata Syafruddin Prawiranegara. Tampa debat kami pulang bersama.

Rupanya, dingin air pancuran di Padang Japang pada pagi hari itu berhasil menyejukkan  kepala-kepala yang beberapa jam sebelumnya bersikukuh pada pendirian masing-masing. Begitulah, setelah kembali dari pancuran, Syafruddin Prawiranegara menyatakan kesediaannya menyerahkan mandat langsung ke Yogyakarta, dan pada keesokan hari dilakukan pertemuan perpisahan di lapangan sepak bola Kota Kaciak.

Rapat Umum di Koto Kaciak

Pada tanggal 8 Juli 1949 setelah sehari dilaksanakanya pertemuan di Padang Japang,dilakukanlah rapat umum di Koto Kaciak yang merupakan rapat perpisahan antara PDRI dengan masyarakat setempat.

Suasana hari-hari terakhir setelah berbulan-bulan lamanya menghadapi tekanan dan serangan-serangan Belanda ke pedalaman. Dalam rapat umum itu berbicaralah Leimena yang terus terang menyatakan perasaan hatinya;

" Tuhan telah memberikan kesempatan kepada kita datang kemari dan bertemu dengan saudara-saudara. Dan kita dapati semua anggota-anggota PDRI berada dalam keadaan sehat wal'afiat, bahkan lebih sehat dari pada kita sendiri, suatu tanda bahwa PDRI berada dalam daerah yang istimewa ”.

Dibagian lain dikatakannya bahwa ia kagum melihat pengorbanan dan semangat rakyat dan juga terharu melihat Sang saka Merah Putih berkibar terus di daerah PDRI. Diceritakan juga ketika M.Natsir Dt.Sinaro Panjang menyampai-kan pidatonya yang diakhiri dengan sebuah pantun :
Mandaki ka gunuang Talang, Manurun ka Batu Banyak,

Nampak nan dari Saruaso, Lah duo kali dilangga pasang,

Namun tapian indak baranjak, Di sinan lataknyo tanago bangso.

(Mendaki ke gunung Talang. Menurun ke Batu Banyak

Terlihat dari Saruaso. Sudah dua kali dilanggar pasang (Agresi I dan Agresi II ) Disitu letaknya tenaga bangsa.)

Pantun ini kata Natsir adalah untuk menjawab pantun rintihan yang pernah didengarnya;
 Mandaki Gunuang Marapi. Manurun katabek patah. Nampak nan dari Koto Tuo. Lah awak bana nan mamarintah. Nasib kami bak nangko juo

(Mendaki Gunung Merapi. Menurun ke Tebat Patah. Terlihat dari Koto Tuo. Sudah kita benar yang memerintah Nasib kami tidak berubah)

Kemudian dalam pidatonya,Syafruddin Prawiranegara, sempat menyampaikan rasa hatinya pada tokoh-tokoh dan masyarakat Sumatera Barat ialah suatu pernyataan perasaan tidak puas pada persetujuan Rum- Royen yang antara lain isinya sebagai berikut :

” Waktu mendirikan PDRI kita bukan merebut pangkat dan kursi, karena kita sering duduk di atas lantai saja. Kita tidak puas dengan persetujuan Roem-Royen, persetujuan yang dibuat Presiden dan wakil Presiden dengan memandang sepi PDRI. Tetapi bagi kita semuanya itu tidak kita persoalkan,karena yang penting adalah kejujuran  dan keselamatan rakyat. Siapa yang jujur pada rakyat dan pada Tuhan perjua-ngannya akan berhasil dan selamat ”

Pada bagian lain pidatonya ia akan berjanji akan kembali memimpin perjuangan kalau persetujuan yang dicapai tidak  sesuai dengan tujuan perjuangan kita. ” sekiranya persetujuan yang dicapai sejalan dengan tujuan perjuangan kita, maka kita mau mene-rimanya, jika tidak saya akan kembali bergabung dengan Saudara-saudara ”

Setelah selesainya mengadakan temupisah dengan masyarakat, Ketua PDRI Syafruddin Prawiranegara Prawiranegara, Menteri Keuangan PDRI, dan para utusan Hatta berangkat ke Padang. Esok harinya mereka terbang ke Jakarta. Setelah menginap satu malam di Jakarta, pada tanggal 10 Juli 1949 rombongan terbang ke Yogyakarta untuk mengembalikan Mandat secara langsung ke Presiden dan Wakil Presiden.

Rakyat Berjuang, Rakyat Membela Negara. Sumber : Luak Limopuluah Basis PDRI oleh Saiful.SP.  Pulutan 5 Juli 2017- (Saiful Guci)
Hari Terakhir Syafruddin Prawiranegara Sebagai Ketua PDRI di Sumatera Barat Reviewed by Unknown on Juli 05, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by NerSumbar.Com © 2017 - 2018
Supported By Medianers, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.