Media Cetak Disebut 'Masuk ICU', Lalu Seperti Apa Masa Depan Media Online?
Payakumbuh, NerSumbar.Com-- Mengulas tentang masa depan media cetak maupun online sudah sejak lama dibahas dikalangan pengelola maupun pelaku media. Sudah banyak pula pengamat atau wartawan mengupasnya. Tapi, topik ini selalu jadi daya tarik dan tidak basi jika diulas lagi. Karena situasinya sedang berlangsung.
Ulasan itu dicetuskan pada tanggal 3 Juli 2017 melalui opini Dody Syahputra, wartawan media daring. Tulisannya berjudul, "Kesombongan Media Cetak, Hati-Hati ICU Menanti" diterbitkan di situs ini, lalu penulis bagikan di media sosial dan mendapat tanggapan dari Jeffrey Ricardo Magno wartawan cetak, Harian Singgallang.
Pandangan Dodi Syahputra, sebagaimana penulis kutip, bahwa "Saya masih ingat ada seorang wartawan media cetak Harian terkemuka nasional, yang kebetulan senior saya di kampus, berkata bahwa era kamera digital hanya sejenak. Bersamaan, produk kamera film ternama Kodak mengatakan bahwa kamera digital hanyalah tren sesaat. Kamera produksi Kodak akan terus bertahan. Kodak terjebak halusinasi dan dilema inovasi yang akut. Akibatnya, ruangan ICU yang pengap menanti raga mereka yang merintih kesakitan." Demikian pendapatnya, hingga dilanjutkan menjadi 10 paragraf.
Mendapati opini tersebut, Jeffrey Ricardo Magno yang dikenal dengan panggilan "Bule" dikalangan wartawan luak limapuluh memiliki pendapat berbeda, bahwa, " Wak raso ndak lo sado e batua doh (Saya rasa tidak semua betul). Di Inggris, banyak juga media online besar gulung tikar. Ndak bisa menggaji karyawan, karena tidak dapat iklan. Begitu juga di Amerika. Banyak yang sudah tutup."
Bule menegaskan, "Media cetak tidak akan mati, kalau perusahaan pintar manage. Karena perusahaan-perusahaan pengiklan masih percaya akan eksistensi media cetak. Mana yang dulu maju Indonesia pada Amerika dalam hal teknologi ini? Toh The Washington Post, The New York Time masih tetap eksis sampai kini."
Ia melanjutkan, "Media hidup dari iklan, advertorial dan pariwara. Perusahaan besar masih mempertimbangkan untuk beriklan di media online karena pangsa pasarnya tidak menjamin. Apa lagi saat kini banyak media online yang tidak berkejelasan. Mohon maaf biasa disebut media ghost. Yang sifatnya hanya sebagai penyebar berita 'hoax'. Hal ini sangat membunuh media-media yang betul-betul eksis untuk news dan mancari profit untuk keberlangsungan hidupnya."
Komentar Bule demikian tentunya memiliki pondasi kuat. Merujuk dari pengalamannya puluhan tahun sebagai ' penyambung lidah rakyat' di harian cetak termasyhur di Sumatera Barat. Bahkan, ia mempertanyakan, " Sudah sampai dimana media online ini dijadikan industri oleh pelakunya? Baik di Indonesia ataupun di Sumbar sendiri?"
Nah, pernyataan dan pertanyaan kritis itu pun penulis jawab diruang komentar, kurang lebih isinya seperti ini, " Versi cetak tentu lebih unggul dari segi kedalaman berita dan uraian lengkap, bahkan melalui redaksi yang ketat sebelum diterbitkan. Sementara kekurangannya telat update. Berita hari ini, ternyata udah dibaca orang 1 jam setelah kejadian. Manakala tidak puas dengan data dengan media online tersebut, maka dengan mudah berpindah ke media online lainnya, yang memberitakan topik nan sama. Sayangnya kekurangan informasi online, tergesa-gesa, kadang data tidak akurat karena terlalu cepat, dan cendrung dangkal. Bahkan sering diedit, setelah terbit."
"Tapi Uda, faktanya bahwa Majalah Dolly Australia dan majalah InStyle UK lebih dulu mengawali tutup usia. Di tanah air sendiri, Sinar Harapan sebagai raja koran sore yang telah beroperasional selama 54 tahun juga berhenti terbit awal 2016. Sebagai dampak keganasan media digital. Majalah Hai yang legendaris sejak 1977 juga memutuskan bulan ini hanya terbit versi digital saja. Konon kabar, Genie, Mom & Kiddie dan High End juga akan menyusul. Dan, yang terhangat 29 Juni 2017 Koran Sindo daerah memecat puluhan awak medianya karena Sindo Cetak bangkrut tidak dapat iklan, dan terus merugi karena biaya operasional tinggi. Sepertinya, tidak lama lagi akan ada yang menyusul sebagaimana opini bang Dodi SyahPutra Malin Marajo."
Kemudian, awak jujur saja kepada Uda, bahwa Singgallang dan Haluan hebat, bahkan sudah masuk 5 besar media online di Sumbar berdasarkan rank alexa. Maknanya Singgallang dan Haluan telah mempersiapkan " sikoci" , dengan kata lain juga ikut online. Ada sebuah indikasi 'kecemasan'. Apa bila versi cetak benar-benar mengalami " senja kala". Kesan itu yang awak petik uda. Terkait model bisnis media online yang belum menjanjikan ini, juga jadi ke khawatiran berbagai kalangan. Apa bila bertahan di cetak, juga dihantui oleh banjirnya informasi digital di media sosial. Pada masa tidak berkejelasan oleh dunia digital nan laju kencang ini timbul sebuah pertanyaan model bisnis media seperti apa sebenarnya yang menjanjikan?"
Terpisah, perkembangan Media Online di Indonesia ini juga pernah dikupas oleh Fajar Rillah Vesky wartawan Padang Ekspress di nersumbar.com, dalam tulisannya menyimpulkan, "42 Ribu Media Online, Hanya 5 Persen Terapkan Etika" Dalam pemaparannya, berdasarkan kutipan dari peryataan ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (Aji) Suwarjono mengatakan bahwa, "Menurut data yang di peroleh dari Kemenkominfo, ada 42.000 lebih media online yang setiap hari berseliweran di dunia maya. “Dari 42.000 media online itu hanya 5 persen saja yang menerapkan etika dan standar jurnalistik. Selebihnya tak dikelola dengan bertanggung jawab,” beber Suwarjono, seraya berharap anggota AJI yang mengelola media daring di daerah, menerapkan standar dan etika jurnalistik."
Suwarjono melanjutkan, sebagaimana yang dituliskan Fajar Rillah Vesky, “Tidak lebih dari 5 persen saja media online yang dikelola dengan standar dan etika jurnalisme. Jauh lebih banyak media tak profesional. Media yang dibuat hanya untuk kepentingan bisnis, trafik iklan, adsense, dan propaganda semata. Ini pula penyebab maraknya fitnah, dusta, berita bohong, dan informasi palsu yang dikenal luas sebagai hoax, dalam keseharian 132 juta pengguna internet di Indonesia,” Bebernya.
Pada kesempatan ini, Kamis 6 Juli 2017 nersumbar.com mencari jawabannya melalui sosok yang sudah kenyang dengan 'asam-garam' mengelola media online, ia adalah Pepih Nugraha, pernah mengabdi di kompas cetak sebagai wartawan sejak tahun 1990 hingga mulai melirik perkembangan media sosial tanah air pada tahun 2005.
Di tahun 2009, Pepih Nugraha dipercaya mengelola Kompasiana. Yang mulanya sekedar untuk blog terbatas kalangan jurnalis Kompas. Namun, Setelah dijalani ternyata kompasiana.com menjelma menjadi sebuah kekuatan media warga, dan sukses melahirkan ribuan penulis pemula, bahkan member kompasiana pun telah banyak jadi penulis buku dan mendirikan media online, seperti media ini misalnya.
Melirik luar biasanya pengaruh media daring Kompasiana yang melibatkan warga jadi "wartawan icak-icak" ini tak lepas dari tangan dingin Pepih Nugraha. Tapi, sosok yang suka tantangan itu, setelah sukses, kembali membuat kejutan, ia memutuskan hengkang dari kompasiana dan berpindah membesarkan selasar.com yang juga didirikan oleh mantan awak media sebanyak 5 orang. Diantaranya, oleh Miftah Sabri, bergelar Sutan Mangkudun asal Padang Panjang, asli putra Minang Kabau, kemudian ada Muhammad Isa, Shofwan Al Banna Choiruzzad, Devie Rahmawati, dan Arief Mizan.
Pertanyaanya, mengapa orang-orang yang penulis sebutkan diatas mau melepaskan kemapanan dan mereka seakan "berjudi" mendirikan bisnis rintisan media online yang katanya belum menjanjikan? dan ternyata mereka sukses melibatkan banyak user. Satu tahun selasar beroperasi, mereka berhasil menggaet 1 ribu user dari berbagai profesi dan latar status sosial untuk saling terhubung. Hadir dengan konten bertanya dan menjawab, bebas dari nuansa mainstream yang kaku dan membosankan kalau dibaca.
Di sela-sela kesibukan Pepih Nugraha sebagai COO Selasar.com ia menyempatkan menjawab pertanyaan penulis via messenger.Ia menyatakan, salah satu alasannya mengelola media online adalah karena adanya tantangan dan inovasi media massa, Ia mengatakan, "Kalau mau menuruti kemapanan ya seharusnya tidak pindah. Tetapi saya suka tantangan." Jelasnya, ketika ditanya soal mengapa ia mau resign dari kompas cetak dan kompasiana, lalu membesarkan selasar.com yang baru merintis itu.
"Saat ini Selasar masih menggunakan uang pemilik perusahaan dan uang sejumlah investor. Monetize digital baru dilakukan akhir tahun ini dengan menjalankan fungsi gamification terlebih dahulu." Ulas Pepih Nugraha, ketika ditanya terkait cara pembiayaan selasar.com
"Ya, investor masuk, saham diberikan. Misalnya saat Selasar berdiri hanya dimiliki 5 orang dengan rata-rata kepemilikan saham 20 persen. Umpanya ada investor mau menanamkan modalnya dan minta 20 persen (mayoritas), artinya saham pendiri (berlima) turun masing-masing tinggal 16 persen. Begitu seterusnya. Uang investor inilah yang kita gunakan untuk biaya operasional, termasuk menggaji karyawan." Tukuk Pepih, yang juga penulis buku "Citizen Journalism; Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman."
Sedangkan sumber penghasilan dari Selasar adalah, pengelola tidak memasang iklan banner seperti media, kalaupun ada strateginya native ads. Native ads baru akan berjalan seiring dengan berfungsinya gamification kelak. Jawabnya, ketika ditanya bagaimana cara sumber penghasilan media online yang ia kelola.
Terakhir, sang mentor berpesan bagi pengelola media online yang ingin maju dan agar bisa bertahan di dunia maya maka ini tips dari Pepih Nugraha, "Tidak ada lagi inventor (penemu) dalam dunia digital online, yang ada hanya para innovator, maka lakukanlah ATM; Amati, Tiru, Modifikasi." Pesannya.
Barangkali pertanyaan kritis Kakanda, Jeffrey Ricardo Magno tentang Sudah sampai dimana media online ini dijadikan industri oleh pelakunya? Baik di Indonesia ataupun di Sumbar sendiri?" Maka, seperti ilustrasi di atas yang baru bisa penulis gambarkan, sedangkan khusus pengelolaan media online di Sumatera Barat belum bisa penulis berikan masukan, barangkali akan ada pengelola media daring lokal bisa menjawab. Silahkan ! (Anton Wijaya).
Ulasan itu dicetuskan pada tanggal 3 Juli 2017 melalui opini Dody Syahputra, wartawan media daring. Tulisannya berjudul, "Kesombongan Media Cetak, Hati-Hati ICU Menanti" diterbitkan di situs ini, lalu penulis bagikan di media sosial dan mendapat tanggapan dari Jeffrey Ricardo Magno wartawan cetak, Harian Singgallang.
Pandangan Dodi Syahputra, sebagaimana penulis kutip, bahwa "Saya masih ingat ada seorang wartawan media cetak Harian terkemuka nasional, yang kebetulan senior saya di kampus, berkata bahwa era kamera digital hanya sejenak. Bersamaan, produk kamera film ternama Kodak mengatakan bahwa kamera digital hanyalah tren sesaat. Kamera produksi Kodak akan terus bertahan. Kodak terjebak halusinasi dan dilema inovasi yang akut. Akibatnya, ruangan ICU yang pengap menanti raga mereka yang merintih kesakitan." Demikian pendapatnya, hingga dilanjutkan menjadi 10 paragraf.
Mendapati opini tersebut, Jeffrey Ricardo Magno yang dikenal dengan panggilan "Bule" dikalangan wartawan luak limapuluh memiliki pendapat berbeda, bahwa, " Wak raso ndak lo sado e batua doh (Saya rasa tidak semua betul). Di Inggris, banyak juga media online besar gulung tikar. Ndak bisa menggaji karyawan, karena tidak dapat iklan. Begitu juga di Amerika. Banyak yang sudah tutup."
Bule menegaskan, "Media cetak tidak akan mati, kalau perusahaan pintar manage. Karena perusahaan-perusahaan pengiklan masih percaya akan eksistensi media cetak. Mana yang dulu maju Indonesia pada Amerika dalam hal teknologi ini? Toh The Washington Post, The New York Time masih tetap eksis sampai kini."
Ia melanjutkan, "Media hidup dari iklan, advertorial dan pariwara. Perusahaan besar masih mempertimbangkan untuk beriklan di media online karena pangsa pasarnya tidak menjamin. Apa lagi saat kini banyak media online yang tidak berkejelasan. Mohon maaf biasa disebut media ghost. Yang sifatnya hanya sebagai penyebar berita 'hoax'. Hal ini sangat membunuh media-media yang betul-betul eksis untuk news dan mancari profit untuk keberlangsungan hidupnya."
Komentar Bule demikian tentunya memiliki pondasi kuat. Merujuk dari pengalamannya puluhan tahun sebagai ' penyambung lidah rakyat' di harian cetak termasyhur di Sumatera Barat. Bahkan, ia mempertanyakan, " Sudah sampai dimana media online ini dijadikan industri oleh pelakunya? Baik di Indonesia ataupun di Sumbar sendiri?"
Nah, pernyataan dan pertanyaan kritis itu pun penulis jawab diruang komentar, kurang lebih isinya seperti ini, " Versi cetak tentu lebih unggul dari segi kedalaman berita dan uraian lengkap, bahkan melalui redaksi yang ketat sebelum diterbitkan. Sementara kekurangannya telat update. Berita hari ini, ternyata udah dibaca orang 1 jam setelah kejadian. Manakala tidak puas dengan data dengan media online tersebut, maka dengan mudah berpindah ke media online lainnya, yang memberitakan topik nan sama. Sayangnya kekurangan informasi online, tergesa-gesa, kadang data tidak akurat karena terlalu cepat, dan cendrung dangkal. Bahkan sering diedit, setelah terbit."
"Tapi Uda, faktanya bahwa Majalah Dolly Australia dan majalah InStyle UK lebih dulu mengawali tutup usia. Di tanah air sendiri, Sinar Harapan sebagai raja koran sore yang telah beroperasional selama 54 tahun juga berhenti terbit awal 2016. Sebagai dampak keganasan media digital. Majalah Hai yang legendaris sejak 1977 juga memutuskan bulan ini hanya terbit versi digital saja. Konon kabar, Genie, Mom & Kiddie dan High End juga akan menyusul. Dan, yang terhangat 29 Juni 2017 Koran Sindo daerah memecat puluhan awak medianya karena Sindo Cetak bangkrut tidak dapat iklan, dan terus merugi karena biaya operasional tinggi. Sepertinya, tidak lama lagi akan ada yang menyusul sebagaimana opini bang Dodi SyahPutra Malin Marajo."
Kemudian, awak jujur saja kepada Uda, bahwa Singgallang dan Haluan hebat, bahkan sudah masuk 5 besar media online di Sumbar berdasarkan rank alexa. Maknanya Singgallang dan Haluan telah mempersiapkan " sikoci" , dengan kata lain juga ikut online. Ada sebuah indikasi 'kecemasan'. Apa bila versi cetak benar-benar mengalami " senja kala". Kesan itu yang awak petik uda. Terkait model bisnis media online yang belum menjanjikan ini, juga jadi ke khawatiran berbagai kalangan. Apa bila bertahan di cetak, juga dihantui oleh banjirnya informasi digital di media sosial. Pada masa tidak berkejelasan oleh dunia digital nan laju kencang ini timbul sebuah pertanyaan model bisnis media seperti apa sebenarnya yang menjanjikan?"
Data Media Online Hoax di Indonesia
Terpisah, perkembangan Media Online di Indonesia ini juga pernah dikupas oleh Fajar Rillah Vesky wartawan Padang Ekspress di nersumbar.com, dalam tulisannya menyimpulkan, "42 Ribu Media Online, Hanya 5 Persen Terapkan Etika" Dalam pemaparannya, berdasarkan kutipan dari peryataan ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (Aji) Suwarjono mengatakan bahwa, "Menurut data yang di peroleh dari Kemenkominfo, ada 42.000 lebih media online yang setiap hari berseliweran di dunia maya. “Dari 42.000 media online itu hanya 5 persen saja yang menerapkan etika dan standar jurnalistik. Selebihnya tak dikelola dengan bertanggung jawab,” beber Suwarjono, seraya berharap anggota AJI yang mengelola media daring di daerah, menerapkan standar dan etika jurnalistik."
Suwarjono melanjutkan, sebagaimana yang dituliskan Fajar Rillah Vesky, “Tidak lebih dari 5 persen saja media online yang dikelola dengan standar dan etika jurnalisme. Jauh lebih banyak media tak profesional. Media yang dibuat hanya untuk kepentingan bisnis, trafik iklan, adsense, dan propaganda semata. Ini pula penyebab maraknya fitnah, dusta, berita bohong, dan informasi palsu yang dikenal luas sebagai hoax, dalam keseharian 132 juta pengguna internet di Indonesia,” Bebernya.
Bagaimana Tanggapan Pelaku Media Online Tanah Air?
Pada kesempatan ini, Kamis 6 Juli 2017 nersumbar.com mencari jawabannya melalui sosok yang sudah kenyang dengan 'asam-garam' mengelola media online, ia adalah Pepih Nugraha, pernah mengabdi di kompas cetak sebagai wartawan sejak tahun 1990 hingga mulai melirik perkembangan media sosial tanah air pada tahun 2005.
Di tahun 2009, Pepih Nugraha dipercaya mengelola Kompasiana. Yang mulanya sekedar untuk blog terbatas kalangan jurnalis Kompas. Namun, Setelah dijalani ternyata kompasiana.com menjelma menjadi sebuah kekuatan media warga, dan sukses melahirkan ribuan penulis pemula, bahkan member kompasiana pun telah banyak jadi penulis buku dan mendirikan media online, seperti media ini misalnya.
Melirik luar biasanya pengaruh media daring Kompasiana yang melibatkan warga jadi "wartawan icak-icak" ini tak lepas dari tangan dingin Pepih Nugraha. Tapi, sosok yang suka tantangan itu, setelah sukses, kembali membuat kejutan, ia memutuskan hengkang dari kompasiana dan berpindah membesarkan selasar.com yang juga didirikan oleh mantan awak media sebanyak 5 orang. Diantaranya, oleh Miftah Sabri, bergelar Sutan Mangkudun asal Padang Panjang, asli putra Minang Kabau, kemudian ada Muhammad Isa, Shofwan Al Banna Choiruzzad, Devie Rahmawati, dan Arief Mizan.
Pertanyaanya, mengapa orang-orang yang penulis sebutkan diatas mau melepaskan kemapanan dan mereka seakan "berjudi" mendirikan bisnis rintisan media online yang katanya belum menjanjikan? dan ternyata mereka sukses melibatkan banyak user. Satu tahun selasar beroperasi, mereka berhasil menggaet 1 ribu user dari berbagai profesi dan latar status sosial untuk saling terhubung. Hadir dengan konten bertanya dan menjawab, bebas dari nuansa mainstream yang kaku dan membosankan kalau dibaca.
Di sela-sela kesibukan Pepih Nugraha sebagai COO Selasar.com ia menyempatkan menjawab pertanyaan penulis via messenger.Ia menyatakan, salah satu alasannya mengelola media online adalah karena adanya tantangan dan inovasi media massa, Ia mengatakan, "Kalau mau menuruti kemapanan ya seharusnya tidak pindah. Tetapi saya suka tantangan." Jelasnya, ketika ditanya soal mengapa ia mau resign dari kompas cetak dan kompasiana, lalu membesarkan selasar.com yang baru merintis itu.
"Saat ini Selasar masih menggunakan uang pemilik perusahaan dan uang sejumlah investor. Monetize digital baru dilakukan akhir tahun ini dengan menjalankan fungsi gamification terlebih dahulu." Ulas Pepih Nugraha, ketika ditanya terkait cara pembiayaan selasar.com
"Ya, investor masuk, saham diberikan. Misalnya saat Selasar berdiri hanya dimiliki 5 orang dengan rata-rata kepemilikan saham 20 persen. Umpanya ada investor mau menanamkan modalnya dan minta 20 persen (mayoritas), artinya saham pendiri (berlima) turun masing-masing tinggal 16 persen. Begitu seterusnya. Uang investor inilah yang kita gunakan untuk biaya operasional, termasuk menggaji karyawan." Tukuk Pepih, yang juga penulis buku "Citizen Journalism; Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman."
Sedangkan sumber penghasilan dari Selasar adalah, pengelola tidak memasang iklan banner seperti media, kalaupun ada strateginya native ads. Native ads baru akan berjalan seiring dengan berfungsinya gamification kelak. Jawabnya, ketika ditanya bagaimana cara sumber penghasilan media online yang ia kelola.
Terakhir, sang mentor berpesan bagi pengelola media online yang ingin maju dan agar bisa bertahan di dunia maya maka ini tips dari Pepih Nugraha, "Tidak ada lagi inventor (penemu) dalam dunia digital online, yang ada hanya para innovator, maka lakukanlah ATM; Amati, Tiru, Modifikasi." Pesannya.
Barangkali pertanyaan kritis Kakanda, Jeffrey Ricardo Magno tentang Sudah sampai dimana media online ini dijadikan industri oleh pelakunya? Baik di Indonesia ataupun di Sumbar sendiri?" Maka, seperti ilustrasi di atas yang baru bisa penulis gambarkan, sedangkan khusus pengelolaan media online di Sumatera Barat belum bisa penulis berikan masukan, barangkali akan ada pengelola media daring lokal bisa menjawab. Silahkan ! (Anton Wijaya).
Media Cetak Disebut 'Masuk ICU', Lalu Seperti Apa Masa Depan Media
Online?
Reviewed by Unknown
on
Juli 06, 2017
Rating:
[…] Terkait : Media Cetak Disebut ‘Masuk ICU’, Lalu Seperti Apa Masa Depan Media Online? […]
BalasHapus