LUAK LIMO PULUAH NAN BUNGSU BERUMUR TUA
Luhak Nan Bungsu Berumur Tua
Disebutkan juga dalam Tambo bahwa Luhak Tanah Datar adalah Luhak Nan Tuo, Luhak Agam adalah Luhak Nan Tangah dan luhak Limopuluah adalah Luhak Nan Bungsu.
Pertanyaannya adalah apakah benar Luhak Limopuluah adalah Luhak Nan Bungsu ?. Karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis dapat dipastikan beberapa unsur-unsur kebudayaan telah ada 350 tahun SM di Luak Limopuluah.
Menurut sebagian sejarawan, kebudayaan Minang diperkirakan bermula sekitar 500 tahun SM, ketika rumpun bangsa Melayu Muda masuk ke Ranah Minang membawa kebudayaan Perunggu. Pembauran bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda menurunkan leluhur suku Minangkabau sebagai pendukung kebudayaan Perunggu dan Megalitikum.
Adapun peninggalan jaman pra-sejarah berupa situs-situs Menhir (batu tagak) hanya ditemukan di Kabupaten Limapuluh Kota (Kecamatan Bukik Barisan,Suliki, Guguak, Payakumbuh, Akabiluru, Pangkalan Koto Baru, dan Kapur IX). Situs-situs Megalith tersebut tersebar di Nagari Pangkalan berupa Dolmen dan beberapa menhir. Di Tanjung Bungo Nagari Koto lamo ditemukan Batu Basurek, di Suliki ditemukan batu sandaran niniak nan barampek, dan sebaran menhir di Balubus, Tiakar Kubang Kecamatan Guguak, sementara yang terbanyak ditemukan di Nagari Mahek kecamatan Bukik Barisan yang sudah dikenal dengan julukan nagari seribu menhir dimana pada situs Parit (daerah Koto Tinggi) berhasil ditemukan situs Megalith terbanyak yakni 380 Menhir, yang diantaranya mencapai tinggi 3,26m.
Menhir merupakan bagian dari produk tradisi megalitik yang menggunakan batu-batu besar sebagai material kebudayaannya; mega berarti besar dan lithos berarti batu. Sejarah pendirian menhir telah berlangsung sejak zaman neolitik sekitar 4500 tahun yang lalu. Awal kemunculannya hampir bersamaan dengan produk tradisi megalitik lainnya yang seangkatan seperti dolmen, teras berundak (bertingkat) dan lain-lain.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai Luhak Nan Tuo juga terdapat menhir-menhir yang sebetulnya sudah difungsikan sebagai nisan kubur Islam yang hampir semuanya berorientasi menghadap ke utara-selatan. Dengan demikian dapat dipastikan menhir-menhir di Kabupaten Tanah Datar umurnya jauh lebih muda jika dibandingkan dengan menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Kota.
Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologis yang dijumpai di Pariangan Padangpanjang, lebih cenderung berorientasi muncul setelah masa Hindu-Budha dan mulainya Islam berpengaruh di Tanah Data. Di Pariangan terdapat kubur panjang yang diyakini sebagai kubur Tantedjo Gurhano, yang dianggap merupakan tokoh yang sama dengan Cati Bilang Pandai (?). Kalau anggapan tersebut ada benarnya, maka dari namanya berkemungkinan tokoh ini adalah seorang yang berasal dari India, dan beragama Budha. Ceti adalah seseorang yang berasal dari kasta Çentri atau centrya, berarti kesatria, orang hebat, perkasa, dan pande adalah orang yang pandai, orang-orang yang sangat mahir, terutama dalam bidang-bidang tertentu, seperti dalam masalah pertukangan dan kerajinan (tokoh ini di Minang dipercayai sebagai arsitek Rumah Gadang), di samping mempunyai kearifan berfikir. Karena keahliannya maka di gelari dengan Cati Bilang Pandai. Kuburan tokoh ini diyakini terdapat di Pariangan dalam ukuran yang cukup panjang (24,7 m), uniknya kuburan ini berorientasi Utara-selatan, tradisi yang biasa dilakukan oleh penganut Islam (terutama di Asia Tenggara) jika menguburkan seseorang. Kalau kubur itu benar sebagai makam Ceti Bilang Pandai maka ada dua kemungkinan yang terjadi: pertama tokoh tersebut sudah beragama Islam; dan yang kedua meskipun belum beragama Islam, ia hidup dalam lingkungan masyarakat yang islami, yang berarti tokoh tersebut telah dikuburkan secara islami. Kedua kemungkinan tersebut muncul hanya dalam masyarakat yang “transisi”, masyarakat di mana Hindu-Budha masih berkembang tetapi Islam sudah mulai memasyarakat di Minangkabau.
Pernyataan ini diperkuat lagi dengan adanya salah satu dusun di Pariangan bernama Biaro yang menurut tradisi lisan berasal dari biara, yaitu tempat ibadah pemeluk agama Budha, dan tak jauh dari biaro tersebut terdapat sekelompok bangunan surau yang mengelilingi sebuah mesjid tua di Pariangan. Istilah biaro, berasal dari istilah vihara dalam ajaran Hindu-Budha, yang fungsinya adalah sebagai pusat lembaga pendidikan yang mengajarkan ajaran Hindu-Budha. Peran biaro tersebut kemudian dilanjutkan oleh surau-surau dan mesjid yang tak jauh dari lokasi biaro tersebut. Dengan demikian besar kemungkinan Pariangan diretas menjadi nagari mulai semenjak Hindu-Budha. Ketika Islam menjadi agama dominan dalam masyarakat peran biaro digantikan oleh fungsi surau dan mesjid, maka semakin lengkaplah Pariangan menjadi sebuah nagari yang islami, sesuai dengan syarat sebuah nagari, “Babalai bamusajik, balabuah batapian, dst......”.
Secara empiris sangat sulit untuk membenarkannya Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis di Luhak Tanah Data justru muncul jauh lebih kemudian, jauh setelah periode megalitik-neolitik di Limopuluah Koto, karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis dapat dipastikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Minangkabau telah disusun di Limopuluah Koto mulai semenjak masa prasejarah, masa neolitik-megalitik. Sementara itu Luhak Tanah Data, lebih cenderung berorientasi muncul setelah masa Hindu-Budha dan mulainya Islam berpengaruh, jauh setelah periode megalitik-neolitik di Limapuluah Koto.
Melayu Purba Pembawa Tradisi Megalitik ke Minangkabau?
Pada ekskavasi arkeologis yang dilakukan di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, Belubus berhasil ditemukan rangka manusia dari penggalian menhir di lokasi tersebut. Di Bawah Parit dan Belubus ditemukan rangka manusia yang berorientasi hadap barat laut – tenggara, sementara di Ronah sebagian berorientasi timur laut – barat daya, dan sebagian lagi berorientasi utara – selatan
Jenis rangka manusia tersebut dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid (Boedisampurno 1991: 41), yang mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu (Aziz 1999).
Menurut Kern dan Heine Geldern, seperti yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama mulai pada masa neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi terjadi sekitar 2000 SM yang oleh para ahli digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu), sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa kebudayaan Dongson yang dimulai 500 SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu Muda (Deutro Melayu). Soekmono mengatakan bahwa pada zaman logam ini disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan megalitik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai cabang kebudayaan Dongson (Soekmono 1973).
(Dongson adalah nama tempat di selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Konon kebudayaan Dongson ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hallstatt, Austria).
Tampaknya kebudayaan ini dikembangkan oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di Indo China dan berkembang dengan pesatnya di zaman Megalitikum dan zaman Hindu.
Nenek moyang orang Minangkabau itu datang dari daratan Indo China terus mengarungi Lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian menelusuri Sungai Kampar atau (Batang Kampar) merupakan sebuah sungai berhulu di Bukit Barisan , pada kawasan Langgam (Kabupaten Pelalawan), sungai ini terbelah dua yang hampir sama besar, yang disebut dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri.
Hulu Batang Kampar Kanan adalah Sungai Lolo...Muaro Sungai lolo (Pasaman) . Batang Kampar Kanan alur utama semula mengalir ke utara kemudian berbelok ke timur, bertemu dengan anak sungai Batang Kapur Nan Gadang, mengalir dengan kemiringan sedang melalui lembah Batubersurat. Selanjutnya bertemu dengan sungai Batang Mahek, mengalir ke arah timur.
Sungai Kampar Kiri bermata air dari Gunung Ngalautinggi, Gunung Solokjanjang, Gunung Paninjauan Nan Elok dan Gunung Mas di Limapuluh Kota dengan nama Batang Sinamar. Batang Sinamar memang panjang, mulai dari pedalaman mudiak 50 Koto di Koto Tinggi yang kemudian bertemu dengan batang Lampasi dan batang Agam di Taram. Batang Sinamar terus mengalir di Lareh Sago Halaban yang selanjutnya masuk wilayah Lintau. Ketika masuk wilayah Tanjuang Ampalu, bertemu dengan batang Ombilin yang tidak jauh sesudah itu di Padang Laweh bertemu dengan batang Sumpu. Batang Sinamar ketika sampai di Muaro Sijunjuang (Darmasraya) bertemu dengan batang Palangki yang kemudian berubah nama dengan batang Jujuhan , dan kemudian berubah nama manjadi batang Kuantan yang menuju Silokek - Durian Gadang - Padang Tarok terus ke wilayah rantau Kuantan. Ketika di Inderagiri barubah pula namanya manjadi batang Inderagiri dan akhirnya bertemu di Langgam (palalawan) dengan Kampar Kanan dan terus ke Laut di Tembilahan.
Dengan ditemukannya rangka manusia tersebut telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba (yang berbahasa Austronesia) ke Luhak Limopuluah. Oleh sebab itu barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang orang Luhak Limopuluah (bangsa Minangkabau) yang berasal dari daratan Asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman pra-sejarah dapat digolongkan ke dalam Melayu Muda (Deutro Melayu). Sebagian diantaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Beberapa menhir yang ada ditemukan disekitar Nagari Mahek-Kecamatan Bukik Barisan , Suliki, Guguak , Mungka, Pangkalan , dan kapur IX menjadi saksi bisu gelombang kedatangan nenek moyang tersebut.
Dari hasil penelitian Prof Nadra (1999) disimpulkan bahwa dialek bahasa yang konservatif ditemui di Mahek Kabupaten Limapuluh Kota yang merupakan 50 % asal bahasa minang. Daerah tersebut dihipotesiskan sebagai daerah pertama yang didiami oleh orang Minangkabau di Sumatera Barat, sesuai dengan bukti arkeologis yang dibahas di awal artikel ini.
Di dalam historiografis tradisional, seperti kaba (tradisi lisan) dan tambo (yang bagi kalangan tertentu mempercayainya 100%) dikatakan Minangkabau terdiri atas tiga luhak, selalu dikatakan dan sudah menjadi paradigma tunggal bahwa Tanah Datar adalah luhak tertua tempat dirintis dan disusun pertama kali adat istiadat Minangkabau (Agam sebagai yang tengah dan Limapuluh Kota dianggap sebagai Luhak Nan Bungsu). Dengan adanya temuan tradisi megalitik di Limapuluh Kota yang lebih tua dari Tanah Datar, dan sekarang apakah kita yakini bahwa Luhak Limopuluah sebagai Luhak nan Bungsu ?
Niniak Nan Barampek
Berdasarkan penelitian di Nagari Mahek orang telah hidup 300 tahun Sebelum Masehi.Mereka hidup dengan pertanian sederhana dan berburu sebagai mata pencahariannya. Mengingat di nagari ini alamnya yang subur dengan air yang cukup dari beberapa anak sungai yang mengalir ke Batang Mahek. Lama kelamaan secara berangsur dengan kehidupan yang makmur tata masyarakatnya mulai diatur dengan rapi.
Adanya 4 (empat) buah batu pembagian wilayah di Balai Batu Mahek dan di Limbanang disebut dengan batu sandaran niniak nan Barampek dan dipercayai adalah untuk tempat Niniak Nan Barampek melakukan sumpah satie yang berisikan: “Salagi buruang Gagak barwarana hitam, Salagi putiah awan dilangik, maka : Sahino Samalu, Sasakik Sasanang, Sapantang Sapanjotian, Salotak Satariak. Surang Taimbau Ampek Datang.”
Adapun Niniak Nan Barampek tersebut adalah :1)Datuak Bandaro memiliki wilayah di Mahek, 2)Datuak Majo Indo yang memiliki wilayah : Koto Laweh, Baruah Gunuang, Koto Tinggi, Pua Data, Talang Anau, Tanjuang Bungo, Sungai Naniang. Sungai Rimbang, Andiang, dan Limbanang mengaku datang dari Mahek. 3)Datuak Siri Maharajo yang memiliki wilayah : Mungka, Jopang Manganti, Talang Maua, Simpang Kapuak, Sungai antuan, G.Bungsu, dan Gunuang Malintang juga mengaku datang dari Mahek.4) Sementara Datuak Rajo Dubalai juga mengaku berasal dari Mahek yang memiliki wilayah di Muaro Takuih (XIII Koto Kampar ,Riau) menjadi pucuak andiko 44.
Disebut juga Limbanang Koto Laweh, Mungka, dan Mahek dengan “ Tigo Tungku di Hulu Kampar Kanan “ yang merupakan pematang Ranah dengan Kampar yang mempunyai 4 buah balai adat,yaitu:
Balai Nan Panjang Koto Laweh Limbanang Koto Ipuah adalah tahta pahukuman dihulu Rajo adat tungku nan tigo dari niniak nan barampek hulu kampar.
Balai Batu di Nagari Mahek Aur Duri
Balai Tuo Gontiang Putuih di Mungka
Balai Tanah Marabau di Muaro Takuih Talago undang.
Yang perlu menjadi pikiran kita yang mendalam adalah , apabila niniak nan barampek ini berasal dari Mahek berarti nagari Mahek dahulunya suatu pusat peradaban yang telah maju sejak zaman batu atau apabila kita kaitkan dengan keberadaan candi muara takus yang dibangun oleh Datuk Rajo Dubalai berarti Nagari Mahek telah jaya sejak abad ke VII.
Kemungkinan perpindahan mereka dari daerah Mahek ke daerah lain sehubungan dengan dua hal, yang pertama karena kepadatan penduduk, yang kedua yang lebih penting untuk mencari tempat yang tinggi yaitu puncak gunung agar dekat dan tetap berhubungan dengan arwah nenek moyang mereka yang menurut kepercayaan mereka tinggal di puncak gunung yang tinggi. Itu pula sebabnya setiap menhir yang dijumpai selalu lengkungan ujungnya menghadap ke salah satu puncak gunung. Dan dari Mahek menghadap ke timur yaitu puncak gunung Sago dan gunung Bongsu.
Pulutan- Saiful Guci
Disebutkan juga dalam Tambo bahwa Luhak Tanah Datar adalah Luhak Nan Tuo, Luhak Agam adalah Luhak Nan Tangah dan luhak Limopuluah adalah Luhak Nan Bungsu.
Pertanyaannya adalah apakah benar Luhak Limopuluah adalah Luhak Nan Bungsu ?. Karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis dapat dipastikan beberapa unsur-unsur kebudayaan telah ada 350 tahun SM di Luak Limopuluah.
Menurut sebagian sejarawan, kebudayaan Minang diperkirakan bermula sekitar 500 tahun SM, ketika rumpun bangsa Melayu Muda masuk ke Ranah Minang membawa kebudayaan Perunggu. Pembauran bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda menurunkan leluhur suku Minangkabau sebagai pendukung kebudayaan Perunggu dan Megalitikum.
Adapun peninggalan jaman pra-sejarah berupa situs-situs Menhir (batu tagak) hanya ditemukan di Kabupaten Limapuluh Kota (Kecamatan Bukik Barisan,Suliki, Guguak, Payakumbuh, Akabiluru, Pangkalan Koto Baru, dan Kapur IX). Situs-situs Megalith tersebut tersebar di Nagari Pangkalan berupa Dolmen dan beberapa menhir. Di Tanjung Bungo Nagari Koto lamo ditemukan Batu Basurek, di Suliki ditemukan batu sandaran niniak nan barampek, dan sebaran menhir di Balubus, Tiakar Kubang Kecamatan Guguak, sementara yang terbanyak ditemukan di Nagari Mahek kecamatan Bukik Barisan yang sudah dikenal dengan julukan nagari seribu menhir dimana pada situs Parit (daerah Koto Tinggi) berhasil ditemukan situs Megalith terbanyak yakni 380 Menhir, yang diantaranya mencapai tinggi 3,26m.
Menhir merupakan bagian dari produk tradisi megalitik yang menggunakan batu-batu besar sebagai material kebudayaannya; mega berarti besar dan lithos berarti batu. Sejarah pendirian menhir telah berlangsung sejak zaman neolitik sekitar 4500 tahun yang lalu. Awal kemunculannya hampir bersamaan dengan produk tradisi megalitik lainnya yang seangkatan seperti dolmen, teras berundak (bertingkat) dan lain-lain.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai Luhak Nan Tuo juga terdapat menhir-menhir yang sebetulnya sudah difungsikan sebagai nisan kubur Islam yang hampir semuanya berorientasi menghadap ke utara-selatan. Dengan demikian dapat dipastikan menhir-menhir di Kabupaten Tanah Datar umurnya jauh lebih muda jika dibandingkan dengan menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Kota.
Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologis yang dijumpai di Pariangan Padangpanjang, lebih cenderung berorientasi muncul setelah masa Hindu-Budha dan mulainya Islam berpengaruh di Tanah Data. Di Pariangan terdapat kubur panjang yang diyakini sebagai kubur Tantedjo Gurhano, yang dianggap merupakan tokoh yang sama dengan Cati Bilang Pandai (?). Kalau anggapan tersebut ada benarnya, maka dari namanya berkemungkinan tokoh ini adalah seorang yang berasal dari India, dan beragama Budha. Ceti adalah seseorang yang berasal dari kasta Çentri atau centrya, berarti kesatria, orang hebat, perkasa, dan pande adalah orang yang pandai, orang-orang yang sangat mahir, terutama dalam bidang-bidang tertentu, seperti dalam masalah pertukangan dan kerajinan (tokoh ini di Minang dipercayai sebagai arsitek Rumah Gadang), di samping mempunyai kearifan berfikir. Karena keahliannya maka di gelari dengan Cati Bilang Pandai. Kuburan tokoh ini diyakini terdapat di Pariangan dalam ukuran yang cukup panjang (24,7 m), uniknya kuburan ini berorientasi Utara-selatan, tradisi yang biasa dilakukan oleh penganut Islam (terutama di Asia Tenggara) jika menguburkan seseorang. Kalau kubur itu benar sebagai makam Ceti Bilang Pandai maka ada dua kemungkinan yang terjadi: pertama tokoh tersebut sudah beragama Islam; dan yang kedua meskipun belum beragama Islam, ia hidup dalam lingkungan masyarakat yang islami, yang berarti tokoh tersebut telah dikuburkan secara islami. Kedua kemungkinan tersebut muncul hanya dalam masyarakat yang “transisi”, masyarakat di mana Hindu-Budha masih berkembang tetapi Islam sudah mulai memasyarakat di Minangkabau.
Pernyataan ini diperkuat lagi dengan adanya salah satu dusun di Pariangan bernama Biaro yang menurut tradisi lisan berasal dari biara, yaitu tempat ibadah pemeluk agama Budha, dan tak jauh dari biaro tersebut terdapat sekelompok bangunan surau yang mengelilingi sebuah mesjid tua di Pariangan. Istilah biaro, berasal dari istilah vihara dalam ajaran Hindu-Budha, yang fungsinya adalah sebagai pusat lembaga pendidikan yang mengajarkan ajaran Hindu-Budha. Peran biaro tersebut kemudian dilanjutkan oleh surau-surau dan mesjid yang tak jauh dari lokasi biaro tersebut. Dengan demikian besar kemungkinan Pariangan diretas menjadi nagari mulai semenjak Hindu-Budha. Ketika Islam menjadi agama dominan dalam masyarakat peran biaro digantikan oleh fungsi surau dan mesjid, maka semakin lengkaplah Pariangan menjadi sebuah nagari yang islami, sesuai dengan syarat sebuah nagari, “Babalai bamusajik, balabuah batapian, dst......”.
Secara empiris sangat sulit untuk membenarkannya Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis di Luhak Tanah Data justru muncul jauh lebih kemudian, jauh setelah periode megalitik-neolitik di Limopuluah Koto, karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis dapat dipastikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Minangkabau telah disusun di Limopuluah Koto mulai semenjak masa prasejarah, masa neolitik-megalitik. Sementara itu Luhak Tanah Data, lebih cenderung berorientasi muncul setelah masa Hindu-Budha dan mulainya Islam berpengaruh, jauh setelah periode megalitik-neolitik di Limapuluah Koto.
Melayu Purba Pembawa Tradisi Megalitik ke Minangkabau?
Pada ekskavasi arkeologis yang dilakukan di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, Belubus berhasil ditemukan rangka manusia dari penggalian menhir di lokasi tersebut. Di Bawah Parit dan Belubus ditemukan rangka manusia yang berorientasi hadap barat laut – tenggara, sementara di Ronah sebagian berorientasi timur laut – barat daya, dan sebagian lagi berorientasi utara – selatan
Jenis rangka manusia tersebut dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid (Boedisampurno 1991: 41), yang mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu (Aziz 1999).
Menurut Kern dan Heine Geldern, seperti yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama mulai pada masa neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi terjadi sekitar 2000 SM yang oleh para ahli digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu), sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa kebudayaan Dongson yang dimulai 500 SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu Muda (Deutro Melayu). Soekmono mengatakan bahwa pada zaman logam ini disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan megalitik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai cabang kebudayaan Dongson (Soekmono 1973).
(Dongson adalah nama tempat di selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Konon kebudayaan Dongson ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hallstatt, Austria).
Tampaknya kebudayaan ini dikembangkan oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di Indo China dan berkembang dengan pesatnya di zaman Megalitikum dan zaman Hindu.
Nenek moyang orang Minangkabau itu datang dari daratan Indo China terus mengarungi Lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian menelusuri Sungai Kampar atau (Batang Kampar) merupakan sebuah sungai berhulu di Bukit Barisan , pada kawasan Langgam (Kabupaten Pelalawan), sungai ini terbelah dua yang hampir sama besar, yang disebut dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri.
Hulu Batang Kampar Kanan adalah Sungai Lolo...Muaro Sungai lolo (Pasaman) . Batang Kampar Kanan alur utama semula mengalir ke utara kemudian berbelok ke timur, bertemu dengan anak sungai Batang Kapur Nan Gadang, mengalir dengan kemiringan sedang melalui lembah Batubersurat. Selanjutnya bertemu dengan sungai Batang Mahek, mengalir ke arah timur.
Sungai Kampar Kiri bermata air dari Gunung Ngalautinggi, Gunung Solokjanjang, Gunung Paninjauan Nan Elok dan Gunung Mas di Limapuluh Kota dengan nama Batang Sinamar. Batang Sinamar memang panjang, mulai dari pedalaman mudiak 50 Koto di Koto Tinggi yang kemudian bertemu dengan batang Lampasi dan batang Agam di Taram. Batang Sinamar terus mengalir di Lareh Sago Halaban yang selanjutnya masuk wilayah Lintau. Ketika masuk wilayah Tanjuang Ampalu, bertemu dengan batang Ombilin yang tidak jauh sesudah itu di Padang Laweh bertemu dengan batang Sumpu. Batang Sinamar ketika sampai di Muaro Sijunjuang (Darmasraya) bertemu dengan batang Palangki yang kemudian berubah nama dengan batang Jujuhan , dan kemudian berubah nama manjadi batang Kuantan yang menuju Silokek - Durian Gadang - Padang Tarok terus ke wilayah rantau Kuantan. Ketika di Inderagiri barubah pula namanya manjadi batang Inderagiri dan akhirnya bertemu di Langgam (palalawan) dengan Kampar Kanan dan terus ke Laut di Tembilahan.
Dengan ditemukannya rangka manusia tersebut telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba (yang berbahasa Austronesia) ke Luhak Limopuluah. Oleh sebab itu barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang orang Luhak Limopuluah (bangsa Minangkabau) yang berasal dari daratan Asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman pra-sejarah dapat digolongkan ke dalam Melayu Muda (Deutro Melayu). Sebagian diantaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Beberapa menhir yang ada ditemukan disekitar Nagari Mahek-Kecamatan Bukik Barisan , Suliki, Guguak , Mungka, Pangkalan , dan kapur IX menjadi saksi bisu gelombang kedatangan nenek moyang tersebut.
Dari hasil penelitian Prof Nadra (1999) disimpulkan bahwa dialek bahasa yang konservatif ditemui di Mahek Kabupaten Limapuluh Kota yang merupakan 50 % asal bahasa minang. Daerah tersebut dihipotesiskan sebagai daerah pertama yang didiami oleh orang Minangkabau di Sumatera Barat, sesuai dengan bukti arkeologis yang dibahas di awal artikel ini.
Di dalam historiografis tradisional, seperti kaba (tradisi lisan) dan tambo (yang bagi kalangan tertentu mempercayainya 100%) dikatakan Minangkabau terdiri atas tiga luhak, selalu dikatakan dan sudah menjadi paradigma tunggal bahwa Tanah Datar adalah luhak tertua tempat dirintis dan disusun pertama kali adat istiadat Minangkabau (Agam sebagai yang tengah dan Limapuluh Kota dianggap sebagai Luhak Nan Bungsu). Dengan adanya temuan tradisi megalitik di Limapuluh Kota yang lebih tua dari Tanah Datar, dan sekarang apakah kita yakini bahwa Luhak Limopuluah sebagai Luhak nan Bungsu ?
Niniak Nan Barampek
Berdasarkan penelitian di Nagari Mahek orang telah hidup 300 tahun Sebelum Masehi.Mereka hidup dengan pertanian sederhana dan berburu sebagai mata pencahariannya. Mengingat di nagari ini alamnya yang subur dengan air yang cukup dari beberapa anak sungai yang mengalir ke Batang Mahek. Lama kelamaan secara berangsur dengan kehidupan yang makmur tata masyarakatnya mulai diatur dengan rapi.
Adanya 4 (empat) buah batu pembagian wilayah di Balai Batu Mahek dan di Limbanang disebut dengan batu sandaran niniak nan Barampek dan dipercayai adalah untuk tempat Niniak Nan Barampek melakukan sumpah satie yang berisikan: “Salagi buruang Gagak barwarana hitam, Salagi putiah awan dilangik, maka : Sahino Samalu, Sasakik Sasanang, Sapantang Sapanjotian, Salotak Satariak. Surang Taimbau Ampek Datang.”
Adapun Niniak Nan Barampek tersebut adalah :1)Datuak Bandaro memiliki wilayah di Mahek, 2)Datuak Majo Indo yang memiliki wilayah : Koto Laweh, Baruah Gunuang, Koto Tinggi, Pua Data, Talang Anau, Tanjuang Bungo, Sungai Naniang. Sungai Rimbang, Andiang, dan Limbanang mengaku datang dari Mahek. 3)Datuak Siri Maharajo yang memiliki wilayah : Mungka, Jopang Manganti, Talang Maua, Simpang Kapuak, Sungai antuan, G.Bungsu, dan Gunuang Malintang juga mengaku datang dari Mahek.4) Sementara Datuak Rajo Dubalai juga mengaku berasal dari Mahek yang memiliki wilayah di Muaro Takuih (XIII Koto Kampar ,Riau) menjadi pucuak andiko 44.
Disebut juga Limbanang Koto Laweh, Mungka, dan Mahek dengan “ Tigo Tungku di Hulu Kampar Kanan “ yang merupakan pematang Ranah dengan Kampar yang mempunyai 4 buah balai adat,yaitu:
Balai Nan Panjang Koto Laweh Limbanang Koto Ipuah adalah tahta pahukuman dihulu Rajo adat tungku nan tigo dari niniak nan barampek hulu kampar.
Balai Batu di Nagari Mahek Aur Duri
Balai Tuo Gontiang Putuih di Mungka
Balai Tanah Marabau di Muaro Takuih Talago undang.
Yang perlu menjadi pikiran kita yang mendalam adalah , apabila niniak nan barampek ini berasal dari Mahek berarti nagari Mahek dahulunya suatu pusat peradaban yang telah maju sejak zaman batu atau apabila kita kaitkan dengan keberadaan candi muara takus yang dibangun oleh Datuk Rajo Dubalai berarti Nagari Mahek telah jaya sejak abad ke VII.
Kemungkinan perpindahan mereka dari daerah Mahek ke daerah lain sehubungan dengan dua hal, yang pertama karena kepadatan penduduk, yang kedua yang lebih penting untuk mencari tempat yang tinggi yaitu puncak gunung agar dekat dan tetap berhubungan dengan arwah nenek moyang mereka yang menurut kepercayaan mereka tinggal di puncak gunung yang tinggi. Itu pula sebabnya setiap menhir yang dijumpai selalu lengkungan ujungnya menghadap ke salah satu puncak gunung. Dan dari Mahek menghadap ke timur yaitu puncak gunung Sago dan gunung Bongsu.
Pulutan- Saiful Guci
LUAK LIMO PULUAH NAN BUNGSU BERUMUR TUA
Reviewed by Unknown
on
Juni 18, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: