42 Ribu Media Online, Hanya 5 Persen Terapkan Etika
NerSumbar.Com--Kehadiran media online dalam industri pers Tanah Air, belum seutuhnya dibarengi dengan pengelolaan yang memenuhi standar, prinsip, dan etika jurnalisme. Akibatnya, informasi yang diterima 132 juta penguna internet di Indonesia sering simpang-siur. Bahkan, tidak jarang mengadu-domba suku dan agama. Mencabik-cabik selaput nasionalisme yang susah-payah kita rawat bersama.
Fenomena ini semakin merisaukan karena disokong teknologi informasi. Siapa saja kini bisa menjalankan kerja jurnalistik. Tinggal mengetik atau memotret di hand-phone, lalu mengunggah ke media sosial, informasi betebaran ke mana-mana. Membuat batas produk jurnalistik dan non-jurnalistik semakin sulit dibedakan.
Publik kerap kebingungan, tidak tahu memastikan informasi yang benar dan tidak benar. Sehingga terjadi blur(kekaburan) informasi, seperti dimaksud empu jurnalistik Amerika, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku "Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload"yang terbit setelah "The Elements of Jurnalism" sebagai salah satu "kitab suci" jurnalis hebat di dunia.
Dilema informasi dalam dunia yang berlari kencang ini, diakui Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Suwarjono dan pendiri AJI P Hasudungan Sirait, dalam workshop "Profesionalisme Jurnalis Menghadapi Hoax", sekaligus Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) di Pangeran Beach Hotel, Padang. Kedua kegiatan ini digelar AJI Indonesia bekerjasama dengan Kedubes Australia, sejak Jumat (21/4) hingga Minggu lalu (23/4).
Menurut Suwarjono, data yang dia peroleh dari Kemenkominfo, ada 42.000 lebih media online yang setiap hari berseliweran di dunia maya. "Dari 42.000 media online itu hanya 5 persen saja yang menerapkan etika dan standar jurnalistik. Selebihnya tak dikelola dengan bertanggung jawab," beber Suwarjono, seraya berharap anggota AJI yang mengelola media daring di daerah, menerapkan standar dan etika jurnalistik.
"Tidak lebih dari 5 persen saja media online yang dikelola dengan standar dan etika jurnalisme. Jauh lebih banyak media tak profesional. Media ang dibuat hanya untuk kepentingan bisnis, trafik iklan, adsense, dan propaganda semata. Ini pula penyebab maraknya fitnah, dusta, berita bohong, dan informasi palsu yang dikenal luas sebagai hoax, dalam keseharian 132 juta pengguna internet di Indonesia," kata Suwarjono.
Dia menyadari, tidak mudah melawan fenomena hoax. Meski kampanye terus dilakukan kalangan cendikia, praktisi dan akademisi komunikasi, mulai dari ruang kelas hingga seminar-seminar. Namun, bagi jurnalis, beban ini terasa lebih berat lagi. Sebab, merekalah yang bersentuhan langsung dengan sumber informasi dan mempublikasikan informasi kepada publik.
Kesulitan menghadapi hoaks ini, tukuk Suwarjono, disebabkan beyond new-opini dan berita rekomendasi (untuk kepentingan propaganda tertentu). Disamping fenomena global perang melawan hoax yang belum efektif (bahkan di negara demokrasi sekelas Amerika Serikat sekali pun).
Walau begitu, AJI Indonesia tidak sepakat dengan cara-cara pemblokiran media online di jagat maya. Organisasi pers yang menjadi simbol perjuangan melawan rezim totarianisme Orde Baru ini lebih mendorong negara menghadirkan regulasi terkait tata kelola internet yang lebih baik. Sekaligus mendorong Dewan Pers dan pemangku kepentingan menyempurnakan pedomaan pengelolaan media siber.
"Pemblokiran (media online), enggak efektif. Mati satu tumbuh seribu. Apalagi, digitalisasi telah membuat perubahan perilaku pembaca. Euforia kelas pembaca yang menelaah mentah semua informasi di sosial media, sulit dibendung. Menyulitkan lagi, media mainstream, juga terus kehilangan kepercayaan, karena menurunnya kualitas produk jurnalistik yang disuguhkan kepada publik," tukuk Suwarjono.
Hal senada diungkapkan P Hasudungan Sirait. Jurnalis senior yang bersama Goenawan Muhammad dkk ikut dalam "Deklarasi Sirnagalih" sebagai titik puncak perlawanan pers terhadap rezim Orde Baru ini, menyebut, kepercayaan publik kepada media mainstream pasca-reformasi, termasuk media-media konvensional, mulai diambil kembali. Ini diperkirakan terjadi karena rendahnya kualitas produk jurnalistik.
"Harus diakui, publik telah mengambil kembali kepercayaan yang diberikan kepada media mainstream, karena menurunnya kualitas produk jurnalistik dan etika jurnalis. Patut juga dicatat, media online tak semuanya jelek. Tak semuanya yang hanya beradu kecepatan dengan mengabaikan keakuratan. Justru, ada beberapa yang menghadirkan suguhan berkualitas. Walau pemainnya masih pemodal besar," kata Hasudungan. (Fajar Rillah Vesky)
Fenomena ini semakin merisaukan karena disokong teknologi informasi. Siapa saja kini bisa menjalankan kerja jurnalistik. Tinggal mengetik atau memotret di hand-phone, lalu mengunggah ke media sosial, informasi betebaran ke mana-mana. Membuat batas produk jurnalistik dan non-jurnalistik semakin sulit dibedakan.
Publik kerap kebingungan, tidak tahu memastikan informasi yang benar dan tidak benar. Sehingga terjadi blur(kekaburan) informasi, seperti dimaksud empu jurnalistik Amerika, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku "Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload"yang terbit setelah "The Elements of Jurnalism" sebagai salah satu "kitab suci" jurnalis hebat di dunia.
Dilema informasi dalam dunia yang berlari kencang ini, diakui Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Suwarjono dan pendiri AJI P Hasudungan Sirait, dalam workshop "Profesionalisme Jurnalis Menghadapi Hoax", sekaligus Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) di Pangeran Beach Hotel, Padang. Kedua kegiatan ini digelar AJI Indonesia bekerjasama dengan Kedubes Australia, sejak Jumat (21/4) hingga Minggu lalu (23/4).
Menurut Suwarjono, data yang dia peroleh dari Kemenkominfo, ada 42.000 lebih media online yang setiap hari berseliweran di dunia maya. "Dari 42.000 media online itu hanya 5 persen saja yang menerapkan etika dan standar jurnalistik. Selebihnya tak dikelola dengan bertanggung jawab," beber Suwarjono, seraya berharap anggota AJI yang mengelola media daring di daerah, menerapkan standar dan etika jurnalistik.
"Tidak lebih dari 5 persen saja media online yang dikelola dengan standar dan etika jurnalisme. Jauh lebih banyak media tak profesional. Media ang dibuat hanya untuk kepentingan bisnis, trafik iklan, adsense, dan propaganda semata. Ini pula penyebab maraknya fitnah, dusta, berita bohong, dan informasi palsu yang dikenal luas sebagai hoax, dalam keseharian 132 juta pengguna internet di Indonesia," kata Suwarjono.
Dia menyadari, tidak mudah melawan fenomena hoax. Meski kampanye terus dilakukan kalangan cendikia, praktisi dan akademisi komunikasi, mulai dari ruang kelas hingga seminar-seminar. Namun, bagi jurnalis, beban ini terasa lebih berat lagi. Sebab, merekalah yang bersentuhan langsung dengan sumber informasi dan mempublikasikan informasi kepada publik.
Kesulitan menghadapi hoaks ini, tukuk Suwarjono, disebabkan beyond new-opini dan berita rekomendasi (untuk kepentingan propaganda tertentu). Disamping fenomena global perang melawan hoax yang belum efektif (bahkan di negara demokrasi sekelas Amerika Serikat sekali pun).
Walau begitu, AJI Indonesia tidak sepakat dengan cara-cara pemblokiran media online di jagat maya. Organisasi pers yang menjadi simbol perjuangan melawan rezim totarianisme Orde Baru ini lebih mendorong negara menghadirkan regulasi terkait tata kelola internet yang lebih baik. Sekaligus mendorong Dewan Pers dan pemangku kepentingan menyempurnakan pedomaan pengelolaan media siber.
"Pemblokiran (media online), enggak efektif. Mati satu tumbuh seribu. Apalagi, digitalisasi telah membuat perubahan perilaku pembaca. Euforia kelas pembaca yang menelaah mentah semua informasi di sosial media, sulit dibendung. Menyulitkan lagi, media mainstream, juga terus kehilangan kepercayaan, karena menurunnya kualitas produk jurnalistik yang disuguhkan kepada publik," tukuk Suwarjono.
Hal senada diungkapkan P Hasudungan Sirait. Jurnalis senior yang bersama Goenawan Muhammad dkk ikut dalam "Deklarasi Sirnagalih" sebagai titik puncak perlawanan pers terhadap rezim Orde Baru ini, menyebut, kepercayaan publik kepada media mainstream pasca-reformasi, termasuk media-media konvensional, mulai diambil kembali. Ini diperkirakan terjadi karena rendahnya kualitas produk jurnalistik.
"Harus diakui, publik telah mengambil kembali kepercayaan yang diberikan kepada media mainstream, karena menurunnya kualitas produk jurnalistik dan etika jurnalis. Patut juga dicatat, media online tak semuanya jelek. Tak semuanya yang hanya beradu kecepatan dengan mengabaikan keakuratan. Justru, ada beberapa yang menghadirkan suguhan berkualitas. Walau pemainnya masih pemodal besar," kata Hasudungan. (Fajar Rillah Vesky)
42 Ribu Media Online, Hanya 5 Persen Terapkan Etika
Reviewed by Unknown
on
Mei 03, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: