Jalan Layang Kelok Sembilan Antara Berkah dan Musibah
NerSumbar.Com ~ Di Luak limapuluh, tepatnya di jalan layang kelok sembilan terjadi keramaian, hal ini merupakan hari berkah bagi pedagang kaki lima, juru parkir, dan fotografer amatiran. Sebab hari Minggu, (5/6) merupakan hari libur akhir pekan dan hari akhir untuk makan-minum di siang hari bagi umat muslim.
Kelok sembilan merupakan tempat strategis, indah, dan tawarkan sejuta pesona. Kondisi demikian membawa peluang ekonomi bagi pedagang untuk mengembang lapak di sisi jalan. Sebab, pengemudi dari arah Riau menuju Sumatera Barat atau sebaliknya akan keberatan jika tidak singgah. Tentunya hal ini membuka peluang bagi pedagang kaki lima untuk menawarkan jagung bakar, pisang bakar dan aneka minuman serta makanan cepat saji. Begitu juga juru parkir, serta-merta mempersilahkan pengemudi memarkirkan mobil dan motor yang kadang memakan badan jalan.
Di hari libur, jalan layang kelok sembilan selalu ramai dan jadi ajang lokasi wisata bagi keluarga, dan muda-mudi untuk menghabiskan waktu menikmati pemandangan alam nan mempesona. Jelas keramaian di jalan layang kelok sembilan membawa dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar, baik yang menawarkan dagangan, maupun jasa dan lain-lainnya.
Jalan layang kelok sembilan dibangun pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bertujuan untuk mengatasi kemacetan. Karena tingginya arus transportasi Sumbar-Riau sehingga di kelok 9 sering terjadi kemacetan parah. Seiring berjalannya waktu, jembatan layang kelok sembilan berdiri kokoh dan berhasil mengurai titik macet. Dan, lambat laun nyaris berubah fungsi menjadi lokasi ajang wisata gratis tanpa retribusi. Akhirnya muncul persoalan baru. Pengemudi dan pengunjung bisa leluasa singgah dan belanja serta menikmati pemandangan alam tanpa membayar dan cendrung meninggalkan sampah sembarang tempat serta mencoret-coret bangunan tiang jembatan (aksi vandalisme). Demikian pula pedagang, menggelar lapak sembarangan meskipun tidak ada izin.
Seolah terjadi pembiaran, mengingat terjadinya peluang ekonomi dan transaksi yang berdampak pada meningkatnya pendapatan masyarakat yang juga mengurangi angka pengangguran. Di satu sisi jembatan layang kelok sembilan membawa berkah bagi sekelompok masyarakat.
Di sisi lain, kegiatan jual-beli, gelar lapak, parkiran yang tidak tertata tentunya sangat menganggu pandangan dan lalu lintas cepat bagi pengemudi lainnya. Sebab, sebagian sisi kiri dan kanan jalan terpakai oleh pedagang kaki lima, baik untuk meletakan meja dan kursi maupun sebagai tempat membakar jagung dan pisang.
Apakah pedagang, juru parkir, dan fotografer amatiran disalahkan? Atau pengemudi dan pengunjung yang mau singgah dan belanja yang patut dituding? Atau pemerintah daerah yang salah, tidak becus menata menyesuaikan fungsi jembatan layang kelok sembilan sebagaimana mestinya?
Idealnya, tidak bisa dilihat secara parsial, baik itu pedagang, juru parkir, pengemudi maupun pemerintah daerah. Kenyataanya di jembatan Siti Nurbaya di Padang juga seperti di jalan layang kelok sembilan. Maknanya, dimana ada keramaian disitu bakal ada pedagang asongan, kaki lima, juru parkir, dan lain-lain.
Pertanyaannya, apakah jembatan layang kelok sembilan ini membawa berkah atau hanya musibah? Jelas membawa berkah bagi yang punya kepentingan, dan musibah bagi yang merasa dirugikan. Lalu bagaimana menatanya agar semua lapisan masyarakat merasa diuntungkan?
Hemat penulis, jalan layang kelok sembilan sebaiknya dikelola sebagaimana tujuan dan fungsinya. Bilamana ada pedagang yang menggelar lapak, idealnya harus berdasarkan pengelolaan yang baik, tidak boleh se-enak hati meletakan dagangan. Wajibnya, ada peraturan daerah setempat, di areal mana saja boleh pedagang boleh "menggalas" dan bukan se-enak "perut" saja. Serta harus ada tindakan untuk memberi efek jera pada pelaku vandalisme suka mencorat-coret bangunan yang merusak estetika.
Demikian pula pengemudi, harus jelas dimana ia boleh memarkirkan kendaraan. Bukan "kelamak" di perut saja yang bisa menganggu jalur pengemudi lain. Siapa yang mengatur ini? Pastinya bukan penulis atau pengguna jalan atau pedagang, tapi coba anda tanya pada rumput yang bergoyang, siapa yang berwenang dan berkompeten mengatur itu semua?
Semoga tulisan sederhana ini mampu menggugah kesadaran kita semua untuk menjaga keindahan, ketertiban dan keasrian jalan layang kelok sembilan. Sekuat apapun aturan yang dikeluarkan pemerintah, jika tidak ada kesadaran dari masyarakat maka jalan layang kelok sembilan yang kita banggakan tidak akan ada apa-apanya, kecuali hanya sekedar keramaian, kumuh dan tidak beraturan.(AW).
Kelok sembilan merupakan tempat strategis, indah, dan tawarkan sejuta pesona. Kondisi demikian membawa peluang ekonomi bagi pedagang untuk mengembang lapak di sisi jalan. Sebab, pengemudi dari arah Riau menuju Sumatera Barat atau sebaliknya akan keberatan jika tidak singgah. Tentunya hal ini membuka peluang bagi pedagang kaki lima untuk menawarkan jagung bakar, pisang bakar dan aneka minuman serta makanan cepat saji. Begitu juga juru parkir, serta-merta mempersilahkan pengemudi memarkirkan mobil dan motor yang kadang memakan badan jalan.
Di hari libur, jalan layang kelok sembilan selalu ramai dan jadi ajang lokasi wisata bagi keluarga, dan muda-mudi untuk menghabiskan waktu menikmati pemandangan alam nan mempesona. Jelas keramaian di jalan layang kelok sembilan membawa dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar, baik yang menawarkan dagangan, maupun jasa dan lain-lainnya.
Jalan layang kelok sembilan dibangun pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bertujuan untuk mengatasi kemacetan. Karena tingginya arus transportasi Sumbar-Riau sehingga di kelok 9 sering terjadi kemacetan parah. Seiring berjalannya waktu, jembatan layang kelok sembilan berdiri kokoh dan berhasil mengurai titik macet. Dan, lambat laun nyaris berubah fungsi menjadi lokasi ajang wisata gratis tanpa retribusi. Akhirnya muncul persoalan baru. Pengemudi dan pengunjung bisa leluasa singgah dan belanja serta menikmati pemandangan alam tanpa membayar dan cendrung meninggalkan sampah sembarang tempat serta mencoret-coret bangunan tiang jembatan (aksi vandalisme). Demikian pula pedagang, menggelar lapak sembarangan meskipun tidak ada izin.
Seolah terjadi pembiaran, mengingat terjadinya peluang ekonomi dan transaksi yang berdampak pada meningkatnya pendapatan masyarakat yang juga mengurangi angka pengangguran. Di satu sisi jembatan layang kelok sembilan membawa berkah bagi sekelompok masyarakat.
Di sisi lain, kegiatan jual-beli, gelar lapak, parkiran yang tidak tertata tentunya sangat menganggu pandangan dan lalu lintas cepat bagi pengemudi lainnya. Sebab, sebagian sisi kiri dan kanan jalan terpakai oleh pedagang kaki lima, baik untuk meletakan meja dan kursi maupun sebagai tempat membakar jagung dan pisang.
Apakah pedagang, juru parkir, dan fotografer amatiran disalahkan? Atau pengemudi dan pengunjung yang mau singgah dan belanja yang patut dituding? Atau pemerintah daerah yang salah, tidak becus menata menyesuaikan fungsi jembatan layang kelok sembilan sebagaimana mestinya?
Idealnya, tidak bisa dilihat secara parsial, baik itu pedagang, juru parkir, pengemudi maupun pemerintah daerah. Kenyataanya di jembatan Siti Nurbaya di Padang juga seperti di jalan layang kelok sembilan. Maknanya, dimana ada keramaian disitu bakal ada pedagang asongan, kaki lima, juru parkir, dan lain-lain.
Pertanyaannya, apakah jembatan layang kelok sembilan ini membawa berkah atau hanya musibah? Jelas membawa berkah bagi yang punya kepentingan, dan musibah bagi yang merasa dirugikan. Lalu bagaimana menatanya agar semua lapisan masyarakat merasa diuntungkan?
Hemat penulis, jalan layang kelok sembilan sebaiknya dikelola sebagaimana tujuan dan fungsinya. Bilamana ada pedagang yang menggelar lapak, idealnya harus berdasarkan pengelolaan yang baik, tidak boleh se-enak hati meletakan dagangan. Wajibnya, ada peraturan daerah setempat, di areal mana saja boleh pedagang boleh "menggalas" dan bukan se-enak "perut" saja. Serta harus ada tindakan untuk memberi efek jera pada pelaku vandalisme suka mencorat-coret bangunan yang merusak estetika.
Demikian pula pengemudi, harus jelas dimana ia boleh memarkirkan kendaraan. Bukan "kelamak" di perut saja yang bisa menganggu jalur pengemudi lain. Siapa yang mengatur ini? Pastinya bukan penulis atau pengguna jalan atau pedagang, tapi coba anda tanya pada rumput yang bergoyang, siapa yang berwenang dan berkompeten mengatur itu semua?
Semoga tulisan sederhana ini mampu menggugah kesadaran kita semua untuk menjaga keindahan, ketertiban dan keasrian jalan layang kelok sembilan. Sekuat apapun aturan yang dikeluarkan pemerintah, jika tidak ada kesadaran dari masyarakat maka jalan layang kelok sembilan yang kita banggakan tidak akan ada apa-apanya, kecuali hanya sekedar keramaian, kumuh dan tidak beraturan.(AW).
Jalan Layang Kelok Sembilan Antara Berkah dan Musibah
Reviewed by Unknown
on
Juni 06, 2016
Rating:
Tidak ada komentar: